Dosen Pembimbing
Emmawati Sulaiman
Tugas Kedua
NAMA : WIWIT
RAHAYU PUTRI
NPM : 156210522
LOCAL I A
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2015
3.3 BAHASA DAN FAKTOR LUAR BIASA
Disebutkan
bahwa objek kajian linguistik mikro adalah struktur intem bahasa atau sosok
bahasaitu sendiri, sedangkan kajian makro adalah bahasa dalam hubungannya
dengan faktor-fktor diluar bahasa, yaitu menjadi objek kajian linguistik mikro,
yaitu dengan melihat ciri-ciri yang merupakan hal yang hakiki dari bahasa itu.
Yang dimaksud dengan faktor-faktor luar bahasa itu tidak lain dari pada segala
hal yang berkaitan dengan kegiatan manusia didalam masyarakat, sebab tidak ada
kegiatan yang tanpa berhubungan didalam masyarakat, sebab tidak ada kegiatan
yang tanpa berhubungan dengan bahasa. Oleh karena itu, hal-hal yang menjadi
objek kajian makro itu sangat luas dan beragam. Yang memang erat kaitannya
dengan bahasa adalah masalah bahasa dalam kaitannya dengan kegiatan sosial di
dalam masyarakat atau lebih jelasnnya, hubungan bahasa dengan masyarakat itu
3.3.1. Masyarakat Bahasa
Kata
masyarakat biasanya diartikan sebagai sekelompok orang(dalam jumlah yang
banyaknya relatif), yang merasa sebangsa, seketurunan, sewilayah tempat
tinggal, atau yang mempunyai kepentingan sosial yang sama. Masyarkat bahasa
adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang sama. Dengan asa
sekelompok orang yang merasa sama-sama menggunakan bahasa Sunda, maka bisa
dikatakan mereka adalah masyarakat bahasa Sunda.
Karena titik
berat pengertian masyarakat bahasa pada “merasa menggunakan bhasa yang sama”,
maka konsep masyarakat bahasa dapat menjadi luas dan dapat menjadi sempit.
Masyarkat bahasa Baduy dan masyarakat bahasa Osing (dziJawa Timur) tentu saja
sangat sedikit atau sempit, masyarakat bahasa Jawa dan masyarakat bahasa sunda
tentu lebih luas.
Secara
linguistik bahasa Indonesia dan Malaysia adalah bahasa yang sama, Karena kedua
bahasa itu banyak sekali persamaannya, sehingga orang Malaysia dapat mengerti
dengan baik akan bahasa Indonesia, dan sebaliknya orang Indonesia dapat pula
mengerti bahasa Malaysia.
3.3.2
Variasi dan Status Bahasa Sosial
Dalam
beberapa masyarakat tertentu ada semacam kesepakatan untuk membedakan adanya 2
macam variasi bahasa yang dibedakan berdasarkan status pemikirannya. Yang
pertama adalah variasi bahasa tinggi(biasa disingkat variasi bahasa T), dan
yang lain variasi bhasa rendah(biasanya dsisngkat R). Variasi T digunakan dalam
situasi resmi, seperti pidato singkat, bahasa pengantar dalam pendidikan,
khotbah, surat-menyurat resmi, dan buku pelajaran. Varasi bahasa R digunakan
dalam situasi yang tidak formal, seperti dirumah, diwarung, dijalan, dalam
surat-menyurat pribadi, dan catatan untuk sendiri.
Variasi
bahasa T dan R ini biasanya mempunyai kosa kata masing-masing yang berbeda.
Contoh:
Bahasa
Yunani
Ragam T
Ragam R
Ikos
spiti
rumah
Idhor nero air
Inos
krasi anggur
3.3.3
Penggunaan Bahasa
Hymes (1974)
seorang pakar linguistik mengatakan, bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan
bahasa harus memperhatikan delapan unsur, yang diakronimkan menjadi SPEAKING,
yakni:
Unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu yang terjadinya percakapan.
Umpamanya percakapan yang terjadi di kantin sekolah pada waktu jam istirahat
tentu berbeda dengan yang terjadi dikelas ketika pelajaran sedang berlangsung.
Orang-orang yang terlibat dalam percakapan. Umpamanya, antara ali murid
kelas dua SMA dengan Pak Ahmad gurunya.
Maksud dan hasil percakapan. Misalnya, seorang guru bertujuan menerapkan
pelajaran bahasa Indonesia secara menarik tetapi hasil yang didapat adalah
sebaliknya, murid-murid bosan karena mereka tidak berminat mengikuti pelajaran
bahasa.
Hal yang menunjukkan pada bentuk dan isi percakapan. Misalnya dalam
kalimat:
- Dia berkata dalam hati.
“Mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik
- Dia berkata dalam hati.
“Mudah-mudahan lamarannya diterima dengan baik
Perkataan “Mudah-mudahan lamaranku
diterima dengan baik” pada kaliat (a) adalah bentuk percakapan sedangkan
kalimat (b) adalah contoh isi percakapan.
Yang menunjukkan pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan.
Yang menunjukkan pada jalur percakapan, apakah secara lisan atau bukan.
Yang menunjukkan pada norma perilaku peserta perckapan.
Yang menunjukkan pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan
3.3.4. Kontak Bahasa
Kontak
bahasa adalah saling pengaruh antara berbagai bahasa karna para bahasawan
saling bertemu(kamus linguistik). Dalam masyarakat yang terbuka, artinya yang
para anggotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakt lain, baik
dari satu atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut
kontak bahasa. Adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya atau terdapatnya yang
disebut biliualisme(2 bahasa atau lebih) dan multingualisme( lebih dari 2
babahsa) dengan berbagai macam kasusnya, seperti interferensi, integrasi, dan
campurcode.
Contoh pada
tataran fonologi, misalnya, kalau penutus bahasa Jawa mengucapkan kata-kata
bhasa Indonesia yang mulai dengan /b/,/d/,/j/, dan /g/, maka konsosnan
tersebutbakan didahuluinya dengan bunyi nasal yang homorgan. Jadi, kata Bogor
akan diucapkan mBogor, kata Depok dilafalkan menjadi kata nDepok dan kata
gossip akan diucapkan nggosip.
Kata dalam
bahasa Indonesia yang sekarang dieja menjadi montir, riset, sopir, dan dongkrak
adalah contoh yang sudah berintegrasi. Umpamanya ketika A dan B sedang
bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia datanglah C yang tidak mengerti bahasa
Indonesia tetapi dapat berbhasa Inggris (dan kebetulan A dan B dapat berbhasa
Inggris), maka kemudian digunakanlah bahasa Inggris.
3.3.5.
Bahasa dan Budaya
Edward Sapir
dan Benjamin Lee Whorf (dan oleh karena itu disebut hipotesis Sapir-Whorf) yang
menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan. Atau dengan lebih jelas bahasa
itu mempengaruhi cara berfikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya.
Umpamanya, karena masyarakat Inggris berbudaya makan nasi, maka dalam bahasa
Inggris tidak ada kata untuk menyatakan padi, gabah, beras dan nasi. Yang ada
Cuma kata rice untuk keempat konsep itu.
3.4
KLASIFIKASI BAHASA
Sudah
disebukan ahwa bahasa itu bersifat universal disamping juga unik. Jadi.
Bahasa-bahasa yang ada di dunia ini disamping ada kesamaannya ada juga
perbedaannya, atau cirri khasnya masing-masing. Klasifikasi dilakukan dengan
melihat cirri yang ada pada setiap bahasa. Bahasa yang mempunyai kesamaan cirri
dimasukkan dalam satu kelompok. Menurut Grenberg (1957:66) suatu klasifikasi
yang baik harus memenuhi persyaratan nonarbitrer, ekshaustik dan unik. Yang
dimaksud dengan nonarbiter adalah bahwa criteria klasifikasi itu tidak boleh
semuanya, hanya harus ada satu kriteria. Dengan kriteria yang hanya satu ini,
yang nonarbitrer, maka hasilnya akan ekshaustik. Artinya, setelah klasifikasi
dilakukan tidak ada lagi sisanya.
3.4.1. Klasifikasi Bahasa
Klasifikasi
genetis, disebut juga klasifikasi geneologis, dilakukan berdasarkan gris
keturunn bahasa-bahasa itu. Artinya, suatu bahasa berasal atau diturunkan dari
bahasa yang lebih tua. Lalu, bahasa pecahan ini akan menurunkan pula
bahasa-bahasa lain. Kemudian bahasa-bahasa lain itu akan menurunkan lagi
bahasa-bahasa pecahan berikutnya.
Kalsifikasi
genetis dilakukan berdasarkan kriteria bunyi dan arti, yaitu atas kesamaan
bentuk(bunyi) dan makna yang dikandungnya. Bahasa-bahasa yang memiliki sejumlah
kesamaan seperti itu dianggap berasal dari bhasa asal atau bahasa proto yang
sama. Oleh karena itu, klasifikasi genetid bisa dikatakan merupakan hasil
pengerjaan linguistik historis komparatif
3.4.3. Klasifikasi Areal
Klasifikasi
areal dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik antara bahasa yang
satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu areal atau wilayah, tanpa
memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara genetic atau tidak. Yang
terpenting adanya data pinjam-meminjam yang meilputi pinjaman bentuk dan arti
atau pinjaman bentuk saja, atau juga pinjaman arti saja.
Usaha
kalsifikasi berdasarkan areal ini pernah dilakukan oleh Wilhelm
Schmidt(1868-1954) dengan bukunya Die Sprachfamilien und Sprachenkreise er Enden
yang dilampiri dengan peta. Peta itu diperlihatkan distribusi geografis dari
kelompk-kelompok bahasa yang penting, disertai dengan cirri-ciri tertentu dari
bahasa-bahasa tersebut.
3.4.4.
Klasifikasi Sosiolinguistik
Historisitas
berkenaan dengan sejarah perkembangan bahasa atau sejarah pemakaian bahasa itu.
Kriteria standarisasi berkenaan dengan statusnya sebagai bahasa baku atau tidak
baku, atau statusnya dalam pemakaian formal atau tidak formal. Vitaitas
berkenaan dengan apakah bahasa itu mempunyai penutur yang menggunkannya dalam
kegiatan sehari-hari secara aktif, atau tidak. Sedangkan homogeny berkenaan
dengan apakah leksikon dan tata bahasa itu diturunkan.
Klasifikasi
sosiolinguistik ini bukan satu-satunya kalsifikasi sosiolinguistik, sebab kita mempersoalkan bagaimana, misalnya. Keadaan dan status bahasa-bahasa yang ada di
Indonesia dan di beberapa negara di kawasan Asia ynag begitu kompleks. Di
Indonesia selain ada bhasa Indonesia yang menjadi bahasa resmi, bahasa
standarm, bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa kesatuan, masih terdapt
bahasa daerah, yang juga bis menjadi bersifat resmi pada situasi yang bersifat
kedaerahan
3.5 BAHASA TULIS DAN SISTEM AKSARA
Bahasa lisan
adalah primer, sedangkan bahasa tulis adalah sekunder. Bahasa lisan lebih
dahulu ada dari pada bahasa tulis. Malah hingga saat ini masih banyak bhasa di
dunia ini yang belum punya tradisi tulis. Artinya, bahasa itu hanya digunakan
secara lisan, tetapi tidak secara tulisan. Dalam bhasa itu belum dikenal ragam
bhasa tulisan yang ada hanya ragam bhasa lisan. Meskipun dikatakan bhasa lisan
dadalah primer dan bhasa tulis sekunder tetapi peranan atau fungsi bahasa tulis
di dalam kehidupan modern sangat besar sekali.
Bahasa tulis bisa menembus waktu ruang, padahal bahasa lisan begitu diucapkan segera hilang
tak berbekas. Bahasa tulis dapat disimpan lama sampai waktu yang tak terbatas.
Karena itulah kita bisa memperoleh informasi dari masa lalu atau dari tempat
yang jauh melalui bahasa tulis ini tetapi tidak melalui bahasa lisan. Bahasa
tulis pun sebenarnya merupakan “rekaman” bahasa lisan,sebagai usaha manusia
untuk “menyimpan” bahasanya atau untuk bisa disampaikan kepada orang lain yang
berada dalam ruang dan waktu yang berbeda.
Para ahli
dewasa ini memperkirakan tulisan itu berawal dan tumbuh dari gambar-gambar yang
terdapat digua-gua di Altamira di Spanyol utara, dan dibeberapa tempat lain.
Pada zaman modern pictogram ini masih banyak digunakan orang sebagai alat
komunikasi. Tulisan pictogram ini banyak digunakan oleh orang-orang Indian di
Amerika, dan orang-orang Yukagir di Siberia, serta di pulau Paska(Pasifik
Timur).
Salah satu
contoh tulisan paku yang dipakai oleh bangsa Sumaria pada lebih kurang 4.000
SM. Aksara paku ini kemudian diambil oleh orang Persia, yakni pada zaman Darius
I (522-468 SM), tetapi tidak untuk menyatakan gambar, gagasan, atau kata,
melainkan utuk menyatakan suku kata. Sistem yang demikian, yang menggambarkan
suku kata disebut aksara silabis.
Selain orang
Persia, orang mesir pun mengembangkan juga system tulisan yang menggambarkan
suku kata. Aksara silabis Mesir ini mempengaruhi system tulisan bangsa-bangsa
lain, termasuk bangsa Fenesia, yang hidup di pantai timur Laut Tengah. Aksara
Fenesia ini terdiri dari 22 buah suku kata. Jadi, dalam aksara Fenesia ini
setiap aksara melambangkan suatu konsonan yang diikuti oleh satu vocal.
Jadi sebelum
tulisan Romawii atau Ltin itu tiba di Indonesia, berbagai bahsa di Indonesia
telah mengenal aksara, seperti dikenal bahasa jawa, bahasa Sunda, bahasa Bugis,
bahasa Makasar, bahasa Lampung, bahasa batak, dan bahasa Sasak.aksara pallawa
itu sendiri berasal dari aksara Brahmi yang asal-muasalnya dapat ditelusuri
sampai ke tulisan semit. Jadi, Pallwa itu seasal dengan aksara Ibrani, Persi,
dan Arab.
Datangnya
agama islam di Indonesia menyebabkan tersebarnya pula Aksara Arab. Aksara Arab
ini berbagai modifikasi digunakan bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan beberapa
bahasa daerah lain. Aksara Arab yang digunakan kini di Malaysia disebut aksara
Jawi, yang dipakai untuk bahasa Indonesia(waktu dulu) disebut aksara Arab Melayu
atau Arab Indonesia, dan yang dipakai dalam bahasa Jawa disebut aksara Pegon.
Dalam
pembicraan mengenai bahasa tulisa dan tulisan kita menemukan istiah-istilah
huruf, abjad, aksara, graf, grafem,alograf, dan jufa kaligrafi dan graffiti.
Huruf adalah istilah umum untuk graf dan grafem. Abjad dan alphabet adalah
urutan huruf-huruf dalam suatu system aksara. Graf adalah satuan terkecil dalam
aksara yang belum ditentukan statusnya sedangkan gorfem adalah satuan terkcil
dalam aksara yang menggambarkan fonem, suku kata, atau morfem, tergantung dari
sistem aksara yang bersangkutan. Grafit adalah coret-coret di dinding, tembok,
pagar dan sebagainya dengan huruf-huruf dan kata-kata tertentu. Kebiasaan
membuat graffiti ini pun sudah lama. Biasanya dilakukan untuk menyalurkan
ekspresi kejiwaan, keinginan berontak, dan sebagainya.
Hubungan
antara fonem (yaitu satuan bunyi terkecil yang dapat membedakan makna dalam
suatu bahasa) dengan huruf atau grafem(yaitu saruan unsure terkecil dalam aksara)
ternyatajuga bermacam-macam. Dalam bahasa Indonesia sebuah huruf digunakan
untuk melambangkan fonem /x/ dan gabungan huruf /ng/ untuk melambangkan fonem
/n/. Ada pendapat umum yang mengatakan bahwa ejaa yang ideal adalah ejaan yang
melambangkan tiap fonem hanya dengan satu huruf atau sebaliknya setiap huruf
hanya dipakai untuk melambangkan satu fonem. Ejaan bahasa Indonesia belum
seratus persen ideal, sebab masih ada digunakan gabungan huruf untuk
melambangkan suatu fonem. Namun, tampaknya ejaan bahasa Indonesia masih jauh
lebih baik dari pada ejaan bahasa Inggris.